Sabtu, 15 Februari 2025

#01 - Cahaya di bawah Pohon Mangga


Serial Anak

Melody Dua Dunia

written by Tinihannys


Kisah petualangan anak kelas tiga Sekolah Dasar bernama Melody bersama sahabatnya Nurmala, Daniel dan Kemal yang selalu mendapatkan kawan maupun lawan dari dua dunia🌻






Pagi yang cerah dengan sinar mentari berwarna kuning menembus jendela di kamar membawaku bangkit penuh semangat menuju perkumpulan siswa berseragam merah putih di sekolah.

Aku tak sabar untuk bertemu dengan Nurmala, teman sebangku yang selalu menjadi pendengar setiaku, juga Daniel dan Kemal yang duduk di belakang, duo usil yang selalu memotong pembicaraanku saat bercerita namun setia mendengarnya hingga akhir! mereka temanku yang setia kawan yang selalu melindungiku dari gangguan anak-anak nakal dari kelas Tiga-E.

Kelas Tiga di sekolah kami terbagi menjadi lima kelas yang dimulai dari kelas Tiga-A hingga Tiga-E, pengelompokan siswa di masing-masing kelas dilakukan secara berurut sesuai dengan urutan nomor rapor, tentu saja dalam satu kelas ada murid pintar, murid pemalas dan murid nakal, tetapi untuk kelas Tiga-E ini dijuluki kelas paling nakal, karena kelasnya selalu berisik dan ada beberapa muridnya yang suka mengganggu murid kelas lainnya, aku tak tahu!

"Nur, semalam ada anak laki-laki yang kakinya pincang dan memakai tongkat mau merebut kalung benang merahku, beruntung aku bisa merebut tongkatnya dan membuangnya sehingga dia tidak bisa mengejarku!" 

Ya! Aku memakai kalung benang merah dengan batu giok berwarna putih keperakan pemberian nenek saat berkunjung ke Indonesia, nenekku tinggal di Taipei, Taiwan (Republik Cina) bersama kakak tertua ayah, dan kakekku asli Indonesia suku Jawa, sehingga ayahku adalah keturunan Tionghoa, lalu menikah dengan ibu yang asli suku Jawa, hampir setiap tahun kakek dan nenekku pulang ke Indonesia mengunjungi kami dan keluarga kakek lainnya. Dua kakak ayah tinggal dan bekerja disana sebagai Dokter Akupuntur dan Bankir, dan ayahku bekerja sebagai Dokter Gigi disini.        

Kalung Ini adalah hadiah kenaikan kelas tiga, setahun yang lalu. Aku suka dengan kalung itu yang membuatku menjadi cantik saat aku bercermin karena pantulan merah dan keperakan dari kalung memancar dari leherku yang jenjang kata ibu.

"Anak yang kakinya pincang? siapa dia?" Nurmala dengan serius menatapku sambil menahan tanganku yang sedang meremas bungkus permen lolipop.

“Kelas Tiga-E?” tanya Kemal yang tiba-tiba sudah ada didepanku membawa biskuit bekal snack nya hari ini.

“Bukan! anak Gua Dalam, gua dengan pemandangan indah di dalamnya dengan rumah penduduk yang rata-rata terbuat dari kayu dengan lantai dari tanah.”

“Gua Dalam? dimana itu?” sahut Daniel terheran mendengarnya.

“Di belakang rumah.”

“Trettt, trettt, trettt,” jam pelajaran olahraga dimulai, segera kami berganti baju dan lari ke lapangan.

“Semua merapat dan meluruskan barisan, bapak mau absen dan kalian jawab dengan keras, siap!”

“Siappp!”

“Mel, dimana Gua Dalam?” tanya Daniel kembali.

“Di belakang rumahku!” jawabku sambil berbisik karena aku takut ketahuan Pak Lison, Guru Olahraga yang galaknya minta ampun jika mengajar di lapangan.

“Yang bener Mel, dimana?” tanya Daniel dengan nada lebih tinggi.

Tentu saja sebelum aku menjawab, Pak Lison sudah menengok ke arahku dan Daniel.

“Kalian berdua, maju!” aku mendengus sambil memandang marah ke arah Daniel!

“Lari putar lapangan lima kali!”

“Tapi pak,..... “LARI!!” belum selesai aku protes, Pak Lison kembali menggertak dengan nada setinggi awan di langit.😒

Kami berlari memutari lapangan, sepanjang putaran pertama Daniel terus menanyakan kepadaku dimana Gua Dalam, dimana Gua Dalam, tapi aku diam tak mau menjawab sebab kulihat mata tajam Pak Lison mengikuti pergerakanku. Jika dia melihat kami mengobrol lagi maka dia akan memberi hukuman dua kali lipat, dan aku tak sanggup.

“Mel!” teriak Daniel, tapi aku tak menghiraukannya, aku tetap berlari menyusuri lapangan, “Mel! tolong!” kudengar jerit Daniel di belakangku.

Seketika aku berhenti dan menengok, Daniel tersungkur dengan darah mengucur dari lututnya, aku panik dan segera berteriak kencang,”Pak Lison, tolong! Daniel terluka!”

Pelajaran olahraga di lapangan terhenti, Pak Lison dan semua murid kelas Tiga-A berkumpul mengelilingi kami, Pak Lison memeriksa luka di lutut Daniel yang terlihat cukup parah karena terjatuh di lintasan dan terkena batu tajam, segera Pak Lison menggendong tubuh Daniel yang bongsor karena terlalu banyak minum susu UHT kesukaannya setiap waktu, menuju ke ruang UKS.

Kami semua kembali ke lapangan, istirahat dan menanti Pak Lison dengan kegiatan berikutnya.

“Mel, beneran Gua Dalam ada di belakang rumahmu?” Kemal mendekatiku sambil membawakan botol minumku yang terkumpul di pagar lintasan lapangan.

“Iya! aku sendiri baru tahu ada gua disana,” jawabku dengan bersungguh-sungguh seperti yang kulihat semalam.

“Lalu kenapa anak pincang itu mau merebut kalungmu?” lanjut Nurmala sambil membersihkan sepatunya dari rumput kering yang menempel di sela tali sepatunya.

“Semalam, dia mengetuk jendela kamarku mengajak keluar melihat cahaya terang dari bawah pohon mangga. Saat aku keluar kulihat dia berjalan dengan bantuan tongkat, ternyata kakinya pincang.

Kalian tahu, ada sebuah lubang di belakang pohon mangga di samping kursi ayun, dari sanalah dia keluar dan masuk.”

“Dia memintaku untuk menemaninya masuk ke Gua Dalam karena dia takut tertangkap oleh penjaga pintu gua, tentu saja aku menolak karena aku juga takut.”

“Mel! dipanggil Pak Lison di ruang UKS,” kata Lena memutus ceritaku tentang Gua Dalam.

“Hei, lanjutkan dulu Mel!” protes Nurmala dan Kemal yang sudah mulai tak sabar mendengar kelanjutannya.

Aku berlari tanpa peduli dengan protes mereka berdua, sebab Pak Lison lebih mengerikan dari apapun.

“Ada apa Pak?” tanyaku setelah bertemu dengan Pak Lison.

“Bereskan semua barang Daniel di mejanya, dia segera pulang, sebentar lagi ibunya akan menjemput Daniel.”

Aku mengangguk dan melirik Daniel yang meringis menahan sakit di lututnya. Kasihan!

🌻


Perjalanan pulang ke rumah siang ini terasa sepi tanpa kehadiran Daniel yang sudah dijemput ibunya. Kami berjalan bertiga menyusuri pertokoan yang berbaris rapi di sepanjang jalan Purnama yang menghubungkan antara sekolah dan kompleks perumahan kami berempat di seberang lampu merah. 

“Kring, kring, kring,” bunyi sepeda es krim melewati kami, aku yang kehausan hanya melihatnya saja sebab aku kehabisan uang saku yang selalu terjadi saat pelajaran olahraga, begitupun dengan Nurmala dan Kemal yang seolah tidak rela melihat sepeda es krim meninggalkan kami tanpa sepotong es krim yang bisa kami nikmati.

“Mel, lanjutkan ceritamu tadi,” kata Nurmala sambil menarik-narik lengan bajuku.

“Saat aku menolak untuk masuk ke Gua Dalam, tiba-tiba anak pincang itu menarik kalungku sampai leherku terasa sakit, aku bertahan dengan tetap memegang kalungku kuat-kuat agar tidak terlepas, tapi anak itu sangat kuat, padahal badannya kurus dan pincang, lalu aku tendang tongkatnya sampai terlepas dari tangannya, dengan cepat kurebut, dan kubuang akhirnya anak itu terjatuh, dan aku segera melarikan diri kembali ke kamar dan menutup jendela.”

“Kalian tahu saat aku sudah sampai di mulut Gua itu, kulihat disana ada cahaya matahari, disana keadaannya siang padahal itu terjadi di malam hari. Sempat aku mengintip hamparan bukit dengan rumput hijau dan bunga warna warni, juga bangunan rumah dari kayu dengan pemandangan yang indah, namun aku berbalik ketika penjaga pintu gua muncul dengan muka hitam memegang tombak!”

“Anak pincang marah saat aku berbalik makanya dia merebut kalung benang merahku, beruntung aku bisa mengalahkannya!” aku menceritakan kejadian semalam dengan nafas ngos-ngosan karena cuaca yang panas dan tenggorokanku kering kehausan.

“Lalu!” Kemal menyela tidak sabar.

“Lalu aku masuk kamar dan ku kunci jendelaku agar anak pincang itu tidak datang menggangguku lagi.”

“Terus anak pincang itu bagaimana?” sahut Nurmala lebih tidak sabar lagi.

“Aku tidak tahu, sebab saat aku menengok aku lihat dia sudah diseret oleh penjaga pintu gua berwajah hitam.”

“Apakah pagi ini kamu sudah melihat keadaan Gua Dalam di bawah pohon mangga?” tanya Kemal antusias.

“Tidak, aku tidak sempat kesana, sebab ayahku pergi kerja pagi sekali karena ada operasi pagi ini, jadi aku juga terburu-buru berangkat ke sekolah.” Aku memang berangkat sekolah bersama ayah karena rumah sakit ayah searah dengan sekolahku.

“Kalau begitu, besok kita ke rumah Melody, aku penasaran dengan Gua Dalam,” kata Kemal.

“No, no, no, besok aku mau kerumah bibi, sebab ada arisan keluarga.”

“Jadi kapan kita bisa melihatnya Mel,” tanya Nurmala.

“Minggu depan kita berempat masuk ke Gua Dalam.”

“Kita tunggu Daniel sembuh dan kita kesana bersama.”

“Oke, kita tunggu Daniel!”

Begitulah ku akhiri ceritaku, jika kalian penasaran tunggu serial berikutnya ya!🌻


#serialanak #ceritaanak #bacaananak #fiksianak #storytelling




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jawabane mung 'hujan'

Sore kemarin dapat vcall dari adikku, nunjukin jempol tangannya yang bengkak terbungkus plastik warna merah diikat karet. "Lapo jempolm...