Serial Anak
Melody Dua Dunia
written by Tinihannys
“Mel, besok jam berapa?” tanya Nurmala yang sudah tak sabar dari seminggu yang lalu ingin pergi ke Gua Dalam.
“Jam delapan setelah sarapan, aku tunggu ya, bye!” dan kami berpisah menuju rumah masing-masing, rumahku ada di Blok-C, rumah Nurmala di Blok-D, sedangkan rumah Daniel dan Kemal di Blok F.
“Mel, tadi pagi Bi Inah menemukan pensil hijau yang sudah patah di bawah pohon mangga, apa itu punyamu?” tanya ibu saat aku selesai makan siang.
“Bukan bu, pensilku berwarna biru semuanya,” ya ayah selalu membeli pensil satu kotak dengan warna biru untuk keperluan sekolahku, sehingga aku tidak pernah lagi membeli pensil lainnya.
“Coba lihat ini,” ibu memberikan pensil hijau yang patah itu kepadaku. Dan aku tetap menggeleng karena memang bukan milikku.
“Ya sudah simpan saja dulu, sayang kan kalau dibuang karena masih panjang,” kata ibu sambil memasukkan pensil patah itu ke laci meja belajarku. Aku penasaran juga punya siapa pensil itu?
🌻
“Assalamualaikum, Melody…” kudengar suara serempak dari Nurmala, Daniel dan Kemal di depan pagar.
“Wa'alaikumussalam, masuk anak-anak,” kata ibu menyambut mereka dan membuka pagar. Dan aku segera keluar membawa mereka ke kebun belakang rumah.
“Ssst, jangan berisik supaya Bi Inah dan Ibu tidak curiga, Oke,” kataku mengingatkan mereka, “Ini rahasia kita berempat.” Dan mereka mengangguk.
“Stop! Disini tempatnya!” Aku berhenti tepat di bawah pohon mangga dan memutar ke sisi ayunan yang tergantung di pohon mangga.
Tapi aku tidak menemukan lubang itu, padahal semalam aku berdiri tepat di depan pohon mangga ini saat anak laki-laki pincang itu merebut kalung benang merahku.
“Mana lubangnya?” tanya Daniel sambil berbisik.
“Disini, semalam aku ingat berdiri tepat disini, dan lubang itu ada disini juga,” jawabku keheranan dengan hilangnya lubang gua itu.
“Kamu yakin disini tempatnya?” kata Nurmala, dan aku mengangguk.
“Baiklah, kita mulai dari titik ini, lalu semuanya berbalik badan, lalu kita mencari jejak yang tertinggal disini, apapun itu yang mencurigakan kumpulkan saja,” perintahku kepada mereka setelah kami berempat berbalik badan sehingga membentuk formasi empat jurus mata angin, Timur, Selatan, Barat, Utara.
“Semua berjalan sambil menunduk dan menuju ke arah luar dari titik ini!” ucapku sambil berjalan menjauh dari pohon, namun aku tak menemukan apapun, lalu aku kembali lagi mendekat ke arah pohon dengan menatap setiap jengkal tanah yang kuinjak dengan teliti, sampai aku tiba di depan pohon kembali tetap tak ada yang kutemukan, akhirnya aku beristirahat dibawah pohon menunggu mereka kembali.
Nurmala datang dengan kerikil kecil yang banyak sekali di kantongnya, Kemal datang dengan potongan ranting kering yang dipungut disepanjang jalan yang dia temui, Daniel datang dengan sebuah pena kaligrafi berwarna hitam dengan ujung berbentuk segitiga pipih dan runcing berwarna keemasan.
Semua kami kumpulkan dengan seksama sambil meneliti satu persatu.
“Anak-anak minum dulu, ini ada es buah dan roti bluder buat camilan hingga nanti makan siang bersama ya,” kata Bi Inah sambil meletakkan nampan es buah di dekat kursi ayun.
“Aku rasa ranting ini tidak menyerupai apa-apa, hanya sekedar ranting yang jatuh berguguran saja,” kata Kemal sambil membuangnya di sisi pohon mangga.
“Aku juga menganggap batu kerikil ini hanya batu biasa saja yang memang berserakan dimana-mana,” kata Nurmala sambil menghamburkan lagi ke tanah.
“Aku penasaran dengan pena kaligrafi ini, apakah Ayahmu suka menulis dengan pena ini?” tanya Daniel sambil memandang pena itu dengan seksama.
“Tidak, Ayah tidak memakai pena kaligrafi biasanya memakai ballpoint gel,” jawabku yang sering melihat ayah menyelipkan ballpoint gel itu di saku baju dinasnya.
“Oh ya, kemarin Bi Inah juga menemukan pensil warna hijau yang patah di bawah pohon ini,” kataku setelah mengingat pensil patah di laci.
Setelah kami menikmati es buah dan roti bluder, aku segera mengajak mereka untuk meneliti semua yang ada di belakang pohon mangga ini.
Kemal dan Nurmala meneliti setiap jengkal pohon mangga, sementara aku dan Daniel mengamati setiap gundukan tanah di belakang pohon.
“Ah ini hanya lubang cacing,” kata Daniel setelah mengacak-acak lubang dengan tanah berbentuk silinder disekitarnya.
Aku justru tertarik dengan tanah gundukan seperti bukit mini tepat di samping ayunan yang tergantung di pohon mangga, tanah itu ditumbuhi rumput halus, bentuknya seperti cangkang siput yang besar, namun tidak ada lubang disana, hanya ada sebuah batu hitam teronggok di depan nya yang sebagian menutupi badan cangkang siput.
Aku hanya duduk didepan gundukan itu sambil mengelus batu hitam itu, batu itu berwarna hitam berkilau, permukaannya kasar tapi tidak tajam, maksudku agak halus jika disentuh, batu apa ini? dan dimana lubang semalam?
“Mel! coba lihat pensil patah yang ditemukan Bi Inah,” kata Kemal mengagetkanku.
Segera aku berlari mengambil pensil patah di laci meja belajarku dan memberikannya kepada Kemal.
“Ini pensilmu bukan?” tanya Daniel
“Bukan! pensil Melody berwarna biru,” jawab Nurmala meyakinkan karena dia sering meminjam pensil cadangan kalau lupa membawanya.
Lalu Daniel mengambil nampan es buah yang berwarna putih dengan gambar sekuntum bunga tulip kuning di ujungnya, dia letakkan gelas es buah dan sisa roti Bluder di atas rumput, lalu membersihkan nampan yang basah bekas tetesan embun es buah dengan mengusapnya, setelah itu dia ambil pensil patah dan pena kaligrafi yang disusun berdampingan dan memberi jarak supaya tidak menempel.
“Perhatikan Mel! apakah kamu menemukan sesuatu yang aneh dengan keduanya?” tanya Daniel seolah detektif swasta profesional hingga membuatku gugup dan tak bisa mencerna kata-katanya, aku menggeleng 😣
“Perhatikan sekali lagi!” desaknya, kali ini justru dia seolah menjadi tukang sulap dengan kalung cincin polos sebagai bandulnya yang siap menghipnotisku 😒
Aku tetap menggeleng setelah lama memperhatikan dua benda itu.
“Anak-anak waktunya makan siang,” teriak ibu di balik dapur dengan celemek kotak-kotak merah favoritnya.
“Baiklah, hari ini sampai disini saja, kita makan dulu lalu istirahat, aku lelah seharian di bawah cuaca panas seperti ini,” kataku sambil bangkit.
“Ini kamu simpan dulu, nanti kita keluarkan lagi saat membutuhkannya,” kata Nurmala sambil memberiku pensil patah dan pena kaligrafi.
Kemal berjalan sambil membawa nampan dan gelas es buah, sedangkan Daniel hanya membawa sisa roti bluder dua bungkus.
“Selamat makan, jangan lupa baca do’a ya,” kata ibu saat kami sudah duduk rapi di meja makan dengan hidangan sayur sop, ayam goreng dan perkedel kentang.
Setelahnya kami berempat ngobrol di teras, membicarakan tentang rencana kunjungan sekolah ke kebun binatang bulan depan.
Tentu saja aku ingin mengunjungi kandang singa dan macan yang terkenal sangat mengerikan bunyi aum nya🦁🐯
Kemal ingin naik gajah walaupun bayar tiket sendiri karena dia penasaran bagaimana rasanya naik diatas punggung gajah 🐘
Nurmala ingin ke kandang burung merak, mudah-mudahan burung merak mau membuka ekornya yang terkenal dengan warna bulunya yang cantik 🦚
Daniel ingin ke kandang orang utan sebagai binatang primata dan salah satu binatang pintar karena memiliki sembilan puluh tujuh persen DNA manusia 🦧 hmm… kami tidak sabar menantikan kunjungan itu!
Malam hari saat aku menyiapkan buku pelajaran untuk besok pagi, aku membuka laci meja belajar untuk mengambil penghapus, dan disana kulihat pensil patah dan pena kaligrafi tergeletak.
Kukeluarkan keduanya dan kuletakkan di atas meja belajar, kupandang dengan seksama setiap bentuk patahan pada pensil dan ujung segitiga pipih yang runcing pada pena kaligrafi, tiba-tiba aku teringat benda itu! Segera kumasukkan ke dalam kotak pensil dan besok akan kutunjukkan kepada mereka bertiga di kelas.
🌻
“Nur! aku sudah mendapat petunjuk semalam,” kataku pada Nurmala yang siap mendengarku bercerita.
“Apa?” kata Daniel dan Kemal di belakangku, lalu aku keluarkan pensil patah dan pena kaligrafi, kuletakkan di meja Daniel dan Kemal.
“Lihat,” kataku sambil mengangkat pensil patah, “Aku teringat pensil patah ini seperti tongkat milik anak laki-laki pincang yang mau merebut kalung benang merahku, tongkat itu aku rebut dan kubuang dan aku ingat ujung tongkat itu terkena batang pohon mangga sehingga patah, mungkin tongkat anak pincang itu sudah rapuh.”
Mereka bertiga membelalakkan mata sambil memperhatikan pensil patah yang berayun-ayun di tanganku.
“Lalu,” lanjutku sambil mengambil pena kaligrafi, “Kalian lihat, ujung pena ini berbentuk segitiga, pipih, runcing dan tajam, berwarna keemasan dengan badan pena berwarna hitam, ini persis tombak yang yang dipegang penjaga pintu Gua Dalam yang berwajah hitam, aku ingat betul tombak itu mata segitiganya berkilauan saat menyeret tubuh anak laki-laki pincang itu!”
Dan sekali lagi mereka bertiga bertambah terbelalak memperhatikan runcingnya ujung segitiga pena kaligrafi.
“Ya, betul!, ini memang persis seperti tombak, dan itu memang menyerupai tongkat patah,” kata Daniel sambil membolak balikkan kedua benda itu.
“Lalu bagaimana selanjutnya? pintu Gua Dalam, bagaimana kita menemukannya?” sambung Nurmala.
“Apakah siang ini kita kembali ke pohon mangga?” tanya Kemal, dan aku menggeleng,”Tidak siang ini, ibu pasti tidak mengijinkan aku bermain sepulang sekolah, sebab peraturan di rumahku, pulang sekolah harus istirahat dan tidur siang.”
Dan mereka bertiga mengangguk-angguk saja mendengar penjelasanku.
“Baiklah kita kembali ke pohon mangga minggu depan seperti yang lalu, jam delapan sudah berkumpul di rumah Melody,” kata Daniel memberikan jadwal bertemu di rumahku.
🌻
“Assalamualaikum, Melody…” kudengar suara serempak dari Nurmala, Daniel dan Kemal di depan pagar.
“Wa'alaikumussalam, masuk anak-anak,” kata ibu menyambut mereka dan membuka pagar. Dan aku segera keluar membawa mereka ke kebun belakang rumah.
“Jadi begini, semalam aku bermimpi bahwa Gua Dalam memang ada, dan anak laki-laki pincang itu mengatakan bahwa Gua Dalam hanya hadir di malam hari saja, saat bintang terang menghiasi langit yang gelap, disaat itulah pintu gua akan terbuka mengeluarkan cahaya terang di bawah pohon mangga, dan dia meyakinkanku untuk mencari adanya tanda keberadaan Gua Dalam disekitar pohon mangga, jika kita jeli pasti tanda itu dapat kita temukan walaupun di siang hari!”
“Wahhh! seru! ini seru! aku suka!” Nurmala, Daniel dan Kemal bersorak gembira mendengar petualangan kali ini yang menurut kami memang mendebarkan.
Seperti kebiasaan kami di sekolah, selalu suka dengan hal-hal menantang yang penuh misteri jika ada kasus rumit.
“Kalian ingat saat Bisma kehilangan sepatu di ruang presentasi?” kata Daniel mengingatkan kami yang super sibuk mencari petunjuk dimana keberadaan sepatu kiri Bisma yang hilang. Ya! kami menemukannya di kantin, petunjuk itu kami dapat dari kaos kaki Bisma sebelah kiri kotor sekali, warna putih kaos kakinya menjadi hitam abu-abu dan coklat tua bercampur jadi satu sampai dekil karena menginjak banyak debu di lantai sekolah berbeda dengan kaos kakinya yang sebelah kanan, ya walaupun kotor juga tapi tidak terlalu dekil seperti yang sebelah kiri.
Daniel menginterogasi Bisma, apa saja yang dilakukan dan darimana saja sebelum ke ruang presentasi, menurut Bisma dia tidak kemana-mana, dia hanya makan siang saja lalu jajan di kantin setelah itu langsung ke ruang presentasi. Dalam sekejap Kemal menyusuri lorong ruang presentasi menuju ke kantin, dan benar saja disana tergeletak sepatu anak laki-laki berwarna hitam sebelah kiri saja, sepatu itu ada di bawah bangku kantin di depan penjual es teh klasik. Tentu saja Bisma senang sepatunya sudah ketemu, dan dia memberi coklat batang kepada kami sebagai tanda terima kasih.
“Oke, kita fokus dengan petunjuk Gua Dalam, menurutku mulut gua biasanya berbentuk bulat dengan lorong kedalam, disekitar mulut gua biasanya ada rumput, atau sarang laba-laba, atau tumbuhan liar lainnya bahkan ranting hijau ataupun coklat, kita perhatikan saja tanda-tanda itu,” kataku mengingatkan bentuk gua seperti kebanyakan di film kartun selama ini.
“Kita hanya perlu duduk mengelilingi pohon mangga, dan memperhatikan sekitarnya saja supaya lebih fokus dengan tanda mulut Gua Dalam,” sambung Kemal.
Aku yang dari kemarin selalu tertarik dengan batu hitam mengkilat di tanah gundukan mulai mendekatinya, “Hei, coba kalian kesini,” panggilku.
“Perhatikan batu hitam ini, dia mengkilat sekali, dan coba sentuh permukaannya, halus dan tidak terlalu tajam seperti batu pada umumnya, apakah ini salah satu petunjuk?” Kataku sambil menyentuh batu hitam itu berulang kali.
Daniel mulai menggoyang dan mendorong batu hitam itu, Nurmala menepuk gundukan tanah diatas batu dengan rumput halus yang memenuhinya, Kemal mulai memperhatikan ranting coklat yang ada disekitar batu hitam, “Ini ranting yang kubuang kemarin,” gumamnya, dan aku mulai mengukur tinggi batu yang hampir tiga perempat dari tinggi gundukan tanah itu.
“Brett, batunya tergeser!” seru Daniel setelah lama dia dorong batu itu.
“Lihat ada celah di antara batu dan gundukan itu,” aku terbelalak melihat celah di belakang batu.
“Ayo geser lagi!” kata Kemal membantu Daniel menggeser batu itu.
“Ada lubang di dalamnya!” teriak Nurmala setelah batu itu tergeser hampir setengah dari letak semula.
“Anak-anak, ayo makan siang!” tiba-tiba ibu sudah memanggil untuk makan siang.
“Oke, kita berhenti dulu, nanti kita lanjut setelah makan,” kata Daniel.
Kami makan dengan terburu-buru karena sudah tidak sabar dengan Gua Dalam di bawah pohon mangga, “Wah, cepat sekali makan kalian,” kata Bi Inah saat kami cuci tangan setelah makan.
“Terima kasih makanannya Bi,” jawab kami serempak sebelum berhambur kembali ke pohon mangga.
“Bagaimana ini? siapa yang berani melihat ke dalam?” kata Nurmala cemas.
“Maksud kamu?” tanya Kemal bingung.
“Tidak, maksud Nirmala bukannya masuk kedalam lubang itu, tentu saja itu tidak cukup untuk badan kita, ini hanya petunjuk, seperti pensil patah sebagai tongkat anak laki-laki pincang, pena kaligrafi sebagai tombak penjaga mulut gua, dan lubang ini tentu saja sebagai mulut Gua Dalam, begitu kan Nur?” jelasku, dan Nurmala mengangguk, lalu Kemal mengangguk juga.
“Baiklah, yang penting kita sudah tahu dimana letak Gua Dalam, selanjutnya kita tunggu petunjuk lewat mimpi Melody lagi,” jelas Daniel, sambil menggeser batu hitam itu menutup lubang gundukan tanah kembali.🌻
Begitulah akhir ceritaku, lanjutkan di serial berikutnya 👌
#ceritaanak #bukuanak #fiksianak #storytelling #bacaananak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar